Media Cyber Portibi
Politik

Tergantung Penyidik, Kesalahan Administrasi Yang Ditemukan BPK Bisa Dipidana Atau Tidak

Foto :Kantor Bupati Langkat

MEDAN(Portibi DNP): Merekomendasikan kepada Bupati Langkat, TAPD lebih cermat melakukan evaluasi dan verifikasi usulan anggaran belanja dari SKPD. Kepala SKPD terkait mengajukan anggaran sesuai klasifikasi penganggaran yang diatur dalam SAP.

Itu adalah sah satu petikan dari Laporan Hasil Pemeriksan Badan Pemeriksa Keuangan (LHP BPK) atas sistem pengendalian intern Pemerintah Kabupaten Langkat, nomor : 56.B/LHP/XVIII.MDN/06/2020, tertanggal 23 Juni 2020.

Dan, ada banyak temuan BPK yang tentu memberikan rekomendasi untuk dilaksanakan oleh Bupati Langkat atas LHP BPK tersebut.

Temuan-temuan tersebut didasarkan pada pemeriksaan LKPD, baik secara administrasi maupun melalui uji petik atas pekerjaan yang dilaksanakan dalam tahun anggaran tersebut. 

Dari hasil pemeriksaan itulah BPK menemukan pelanggaran-pelanggaran atas peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tentu ada sanksi yang harus dilaksanakan atas pelanggaran tersebut. Apakah itu pengembalian kelebihan pembayaran atau sanksi administrasi lainnya.

Dikutip dari situs damarinfo.com, Senin (15/2/2021), frasa kelebihan pembayaran, ternyata belum serta merta disebut sebagai sebuah kerugian negara, jika selanjutnya ada pengembalian kelebihan bayar dalam waktu 60 hari sejak rekomendasi tersebut disampaikan. Dasarnya adalah pasal 20 ayat 3, UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

Dan, jika menilik ayat 5 dari pasal ini, yang memberikan sanksi administratif bagi pejabat yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bisa dikatakan bahwa hasil pemeriksaan BPK dan kewenangan melakukan pemantauan tindak lanjut hasil pemeriksaan pada prinsipnya berada pada ranah hukum administrasi negara (administratif). 

Sehingga, sepanjang rekomendasi BPK terhadap hasil pemeriksaan telah ditindaklanjuti oleh pejabat yang bersangkutan dalam waktu 60 hari, berarti kewajiban administratifnya bagi BPK telah selesai.

Pihak BPK juga tidak perlu lagi melaksanakan pemeriksaan dengan tujuan tertentu atau pemeriksaan investigatif untuk memeriksa kemungkinan adanya tindak pidana korupsi dalam temuan tersebut.

Tentunya, BPK tidak perlu lagi melaporkan hal itu kepada penegak hukum untuk selanjutnya dilakukan penyidikan (pasal 8 ayat (3), (4) UU No. 15 tahun 2006 tentang BPK).

Selanjutnya, mari kita lihat undang-undang yang lain. Yakni, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang perbendaharaan negara, yaitu pasal 64 ayat (1). Dalam pasal itu dituliskan, bendahara, pegawai negeri bukan bendahara dan pejabat lain yang telah ditetapkan untuk mengganti kerugian negara/daerah dapat dikenakan sanksi administrasi dan/atau sanksi pidana.

Pasal ini terkesan alternatif. Namun, dengan adanya sanksi pidana pada pasal ini, maka setiap hasil pemeriksaan (LHP) BPK yang mengandung indikasi merugikan keuangan negara seyogyanya harus dilaporkan ke instansi berwenang (Kejaksaan dan POLRI).

Karena, untuk melihat apakah terjadinya kerugian negara itu diakibatkan adanya perbuatan melawan hukum merupakan wewenang penyidik. Kewenangan BPK hanya pada menetapkan ganti rugi yang merupakan sanksi administrasi. 

Sementara, penegak hukum adalah menemukan adanya perbuatan pidana. Dan, untuk selanjutnya memberikan sanksi pidana.

Harifin A. Tumpa (mantan ketua MA) mengatakan, sekalipun temuan BPK tidak pro yustisia, tapi bersifat administratif, tapi justru di bidang pelanggaran administratif itulah kemungkinan munculnya tindak pidana korupsi. 

Kalau tidak ada pelanggaran administratif, maka tidak ada korupsi. Jadi korupsi itu sumbernya pada administrasi yang tidak tertib.

Nah, kembali ke soal kelebihan pembayaran hasil temuan BPK, pada peristiwa ini terdapat kerugian negara. Yakni, timbul atau bertambahnya kewajiban pengeluaran/pembayaran kas negara/daerah yang seharusnya tidak perlu, sehingga memiliki unsur kerugian negara.

Dalam LHP BPK saat ada temuan, maka BPK memberikan rekomendasi kepada Kepala OPD untuk mempertanggungjawabkan kelebihan pembayaran dengan menyetor ke kas negara. Artinya kerugian tersebut nyata dan pasti dapat dinilai dengan uang (jumlah hasil pemeriksaan).

Hal lain yang ditulis saat ada temuan, bahwa peristiwa tersebut bertentangan dengan peraturan dan perundang-undangan. 

Dengan kata lain bertentangan dengan hukum atau melawan hukum formil.

Berikutnya siapa yang menyebabkan terjadinya kelebihan pembayaran juga diungkap dengan jelas dalam LHP BPK tersebut. Hal ini terkait dengan unsur perbuatan melawan hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.

Selanjutnya, mari kita simak Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 dan perubahanya pada UU Nomor 20 tahun 2001, pasal 2 dan 3, maka LHP BPK yang telah menyimpulkan berdasarkan bukti bukti dokumen dan keterangan yang dibuat oleh pihak-pihak terperiksa, bahwa telah terjadi kerugian negara dengan menyebut jumlah kerugian negara dan mengungkapkan ketidaksesuaian dengan peraturan perundang-undangan.

Maka itu merupakan perbuatan yang menyimpang, maka sebenarnya telah memiliki rumusan yang sejalan dengan unsur-unsur pasal 2 dan 3 UU No. 31 tahun 1999 Jo. UU No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Sehingga temuan BPK terkait laporan hasil pemeriksaan BPK atas kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan dapat ditindaklanjuti oleh penegak hukum untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, terkait adanya perbuatan tindak pidana korupsi.

Namun demikian, penerapan ini membutuhkan kearifan dan kebijaksaan oleh penegak hukum dalam praktik di lapangan. Penegak hukum harus melihat konteks kasus yang dihadapinya.

Pertama-tama penegak hukum harus memahami bahwa dalam penanganan perkara korupsi, yang paling utama adalah, bagaimana mengembalikan kerugian negara kepada negara. 

Penegakan hukum, tentu harus mengedepankan rasa keadilan masyarakat, terutama bagi yang punya kesadaran telah mengembalikan kerugian keuangan negara (restoratif justice). 

Terutama terkait perkara tindak pidana korupsi yang nilai kerugian keuangan negara relatif kecil dipertimbangkan untuk tidak ditindaklanjuti.

Instrumen pidana adalah upaya terakhir (ultimum remedium). Dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi sebaiknya diprioritaskan pada pengungkapan perkara yang bersifat skala besar.

Dilihat dari pelaku dan/atau nilai kerugian keuangan negara dan tindak pidana korupsi yang dilakukan terus menerus atau berkelanjutan, sehingga dapat menimbulkan ketidakkepercayaan masyarakat.(Int)

Print Friendly, PDF & Email

Related posts

Deklarasi Relawan Ganjarist Medan: Berat Sama Dipikul, Ringan Sama Dijinjing

admin

Sempat Rusuh! Jerry Sambuaga Terpilih Secara Aklamasi Ketua Umum DPP AMPI

admin portibi

Sambut HUT ke 54 Ganjar Pranowo, Ganjarist Satrel Kota Medan Gelar Syukuran

admin

Leave a Comment